Aku masih bisa merasakan betapa perihnya luka yang kau torehkan padaku, yang begitu dalam menggores, mengiris, melukai diriku hingga akhirnya hatiku semakin keropos dan tak lagi bisa menghargaimu. Aku masih bisa ingat, dengan baik dan jelas ketika itu... beberapa bulan sebelum kau memutuskan untuk mengingkari perkataanmu sendiri, beberapa saat sebelum akhirnya kau menjilat kembali ludah hitammu itu. Kau tak tahu, betapa aku mempercayaimu, perkataanmu, janjimu, dan segala sumpah serapahmu saat itu.... Kau tak tahu bahwa aku memegang teguh omonganmu, seperti merekamnya dalam memori kepalaku, memutar-mutarnya berulang kali agar aku mengingat bagaimana teguhnya pendirianmu untuk tidak melakukan hal itu. Tapi ternyata, yang kudapatkan hanyalah tamparan keras dari kenyataan yang sangat berbeda dari apa yang telah kau ikrarkan.
Aku hanya bisa menganga lebar hingga rahangku mati rasa. Jantungku berdegup kencang karena letupan-letupan amarah yang terasa begitu kuat dari dalam diriku. Dadaku terasa sesak, seakan-akan aku tenggelam jauh ke dalam samudera. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi; akhirnya aku menyerah dan mulai menanyakannya padamu,
Mengapa kau mengingkari ikrarmu itu? Aku masih ingat dengan jelas bahwa kau tidak akan mau melakukan hal itu.
Kau pun membalas pertanyaanku dengan ketusnya, seakan-akan aku adalah serangga pengganggu dalam hidupmu.
Memang kenapa kalau aku menarik kembali perkataanku? Sudah terlanjur, bagaimana lagi?
Amarahku meletup-letup namun aku masih berusaha untuk tidak melontarkan seluruh amarahku tepat di wajahmu.
Kau tak ingat apa saja perkataanmu? Kau tak ingat bagaimana kau dengan entengnya melontarkan seluruh sumpah serapah dan makian-makian untuk hal itu? Kau tak ingat hal-hal yang menurutmu lebih baik kau lakukan daripada menjalankan hal itu? Lupa?
Dan balasanmu selanjutnya, seperti petir di siang bolong.
Iya, memang aku orang yang begini. Aku seperti ini!! Kenapa lagi? Aku memang tidak memiliki pijakan kuat atas perkataanku! Aku plin-plan, aku tidak punya pendirian tetap. Terus memangnya kenapa? Kau sudah tahu hal itu kan --bahwa aku memang orangnya seperti ini!! Kau iri karena aku bisa melakukan hal itu? Kau marah karena aku melakukan hal itu? Kau sebal karena kau tidak bisa melakukannya, kan?
Amarahku meledak dan mengalir keluar dari tubuhku melalui buliran-buliran air mata yang turun deras seperti hujan di bulan Desember. Aku tak bisa lagi membalas kata-kata ketusmu yang menohokku begitu dalam. Aku hanya bisa menutup pembicaraanku denganmu dengan deretan titik-titik seperti kereta api;
....................................................................................................................., seperti ini.
Sesak, sesak sekali. Rasanya seperti nyawaku melayang. Kepalaku berat dan aku seperti setengah pingsan, mengambil napas saja rasanya sakit seperti mau mati. Kau pun tak henti-hentinya mengolok-olokku dengan label mengenaskan yang tak kan pernah ingin aku sematkan padamu.
--
Aku menghela napas sambil menyeruput cokelat panas. Pandanganku terantuk pada buliran air hujan yang menabrakkan diri di jendela kafe malam ini. Aku menelungkupkan kepalaku di meja sambil mengatur napasku. Sudah tiga tahun memang sejak kejadian itu, tapi aku masih tidak bisa melupakan dan mengenyahkan rasa sakit yang sudah kau torehkan pada diriku. Aku memejamkan mata sambil merasakan kembang kempisnya napasku. Aroma cokelat panas dan kue pastel tutup panas kesukaanku memenuhi hidungku --biasanya aku akan segera bangkit ceria melihat dua sajian favoritku itu, namun aku harus mengakui bahwa aku kalah, terlalu larut dalam rasa terkejutku ini. Serangan kenangan mendadak seperti ini tidak pernah kuperhitungkan sebelumnya....
Aku memang makhluk yang malang, terjebak dalam memori buruk seperti ini dan tak bisa lepas dari perangkapnya. Aku adalah makhluk malang yang seluruh tubuhnya, dari ujung kepala hingga ujung kaki masih saja menyimpan berkas-berkas luka yang pernah kau torehkan padaku. Bukan tanpa alasan kulakukan itu. Semuanya rela kutelan agar aku mengingat-ingat bagaimana gilanya kau saat membuangku, aku rela menyimpan arsip kenangan bak mimpi buruk itu agar aku tak lagi jatuh dalam kata-kata manismu saat meminta maaf padaku karena aku tahu, kau mencariku karena kau sedang bosan dan sendirian, tersingkir dari yang lain. Aku tetap begini agar aku membencimu -- agar aku menciptakan jarak yang terbentang lebar antara aku dan kau, sehingga kau bisa melihat hasil dari apa yang telah kau perbuat padaku setelah sekian lama ini.
--
Di sini hujan masih turun dengan deras. Mataku masih bisa menangkap tetesan langit yang menangis, menemaniku yang sedang melankolis mengenang luka-luka malam ini.
Dari dalam kamarku, dengan suara bising dari penyejuk udara menemaniku menuangkan rasa sesakku,
8 Oktober 2015